Kasus ASABRI dari mulai awal mulanya sudah sarat dengan rekayasa, penipuan, penghianatan, kebohongan dan kepura-puraan. Motivasi keterlibatan orang-orang dalam kasus ini bermacam-macam, yang paling utama dan paling banyak adalah motivasi materi atau uang. Kedua adalah motivasi kedudukan atau jabatan serta pangkat. Ketiga adalah motivasi prestasi kerja dan pujian. Namun demikian kesemuanya mengarah kepada materi atau duit semata. Setalah lengkap semuanya dalm menelusur kasus Asabri dari tahun 1995 sampai putusan Pengadilan Tinggi DKI maka lengkaplah skenario sandiwara kasus Asabri ini terbuka. Banyak orang mengatakan bahwa kasus Asabri ini soal politik. Apa artinya itu, kita susah mencerna dengan pemikiran yang sederhana ini. Sebenarnya bukan politik tetapi untuk menutup aib dan kesalahan orangng banyak yang terlibat maka dibuat skenario mengorbankan pihak yang dianggap lemah. Setiap skenario tentu ada pemeran utama yang harus berhasil diselamatkan, setidak-tidaknya banyak keringanan walaupun kesalahannya sangat besar. Sampai dengan Pengadilan Tinggi DKI mereka (pembuat skenario) sudah berhasil sesuai target. Namun tidak ada Zambrud yang mulus, selalu ada cacatnya. Satu persatu terkuak kebohongan, rekayasa, manipulasi data, serta kebodohannya sendiri. Bukti-bukti atau yang disebut barang bukti dalam Peradilan ternyata tidak semua dipelajari untuk mengadili. Terlalu jelas keberpihakan dalam penyelidikan, dakwaan sampai dengan vonis. Sebagai contoh yang menyolok adalah singkatan NPD. Dengan sengaja dari awal penyelidikan di Puspomad sampai di Pengadilan Tinggi DKI singkatan NPD adalah NOTA PENGANTAR DINAS. Dalam hal ini supaya ada kesan bahwa nota tersebut sebagai misi adanya perintah kedinasan seperti di dalam institusi pemerintahan. Seolah-olah ada ijin dari orang yang mengeluarkan NPD tersebut. Pengertian yang sebenarnya NPD adalah NOTA PEMINDAHAN DANA kalau kalau sekarang di bank-bank NOTA PEMINDAHAN BUKUAN. Tentunya artinya sangat berbeda dengan Nota Perintah Dinas. Nota ini selalu jadi satu dengan Giro Bilyet yang menyertainya. Giro Bilyet tanpa NPD tidak akan bisa cair apabila urusan instasi atau badan hukum. Silahkan diperiksa dikalangan perbankan. Selama 3 (tiga) tahun sejumlah Rp.400.000.000.000 (empat ratus miliar rupiah) Giro Bilyet di kliringkan tanpa NPD oleh Henry Leo. NPD diduga disusulkan sebagai Pengantar Dinas seolah direstui DIRUT ASABRI/Pelaksana Harian BPKPR. Pihak BNI telah berbuat kesalahan besar tanpa konfirmasi serta tanpa membaca NPD dengan benar. Lebih salah lagi dana BPKPR/ASABRI setelah di kliring menjadi milik Henry Leo, baik sertiplus maupun deposito dilakukan oleh pejabat BNI. Supaya tidak langsung menggunakan hasil kliring, Henry Leo mengajukan Cash Collateral dengnan jaminan hasil kliring yang sudah menjadi milik dia. Sebaliknya ASABRI/BPKPR merasa deposito di BNI tetap berjalan lancar dengan adanya bunga dari BanK BNI disetor ke dalam rekening ASABRI/BPKPR atau Dapaen ASABRI setiap bulan. Laporan KabagKU diterima setiap saat berjalan baik. Penipuan dan rekayasa disertai kebohongan berjalan lancar serta rapih sekali yang dilakukan Henry Leo dibantu serta bekerjasam dengan pejabat BNI. 3 (tiga) tahun rekayasa berjalan rapih dan terbuka kedoknya saat bunga BNI macet tidak terbayar bahkan Henry Leo membuat pernyataan bahwa dia berhutang membayar bunga BNI ke ASABRI/BPKPR sejumlah Rp. 32.000.000.000 (tiga puluh dua miliar rupiah) (bukti asli ada). Henry Leo setelah terbuka kejahatannya langsung lapor Menhankam dengan bantuan relasinya. Lapor bahwa pencurian / penyalahgunaan dana Dapen ASABRI disetujui / diperintah / sepengetahuan DIRUT ASABRI. DIRUT ASABRI diberhentikan, dana curian / penipuan sebesar Rp.410.000.000.000 (empat ratus sepuluh miliar rupiah) dianggap penyertaan ke perusahaan Henry Leo. Disini rekayasa kedua yang melanggar hukum. Ternyata pengembalian dana BPKPR/ASABRI sampai sekarang belum kembali. Rekayasa serta penipuan terus berjalan dengan cara kolusi. Rekayasa serta penipuan terus berjalan dengan cara kolusi dengan pejabat terkait. Tahun 1999 bulan Agustus, mantan DIRUT ASABRI diperiksa Polisi dengan pengakuan Henry Leo bahwa mantan DIRUT ASABRI menggelapkan Rp.260.000.000.000 (dua ratus enam puluh miliar rupiah). Teganya orang Dephankam waktu itu melapor ke Mabes POLRI tanpa memeriksa data-data yang benar. Dua bulan diperiksa DIRUT ASABRI dikoran-koran diramaikan sebagai Jenderal bobrok, koruptor uang prajurit. Akhirnya pemeriksaan dihentikan karena kurangnya alat bukti. Keberuntungan Henry Leo masih ada dan lepas dari tahanan Dephankam dengan membuat SBLC bersama BNI serta Dephankam. Agunan apa saja sampai bisa mengeluarkan SBLC sebesar itu? pasti disinipun sarat dengan rekayasa jaminan. Perlu diketahui dana Henry Leo yang ditransfer keluar negri tidak terjamah sampai sekarang, merupakan potensi untuk pengembalian kerugian negara. Tahun 2002 SBLC cair sebesar Rp.150.000.000.000 (seratus limapuluh miliar rupiah) masuk ke dalam rekening Irjen Dephan. Di dalam kesaksian persidangan ternyata untuk proses pencairan dana Rp.150.000.000.000 tersebut ada fee lebih dari Rp.3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) untuk Irjen Dephan, apakah itu melanggar hukum atau tidak belum ada yang mempersoalkan. Dari beberapa saksi yang diperiksa ternyata aset yang diserahkan mantan DIRUT ASABRI sebagai jaminan moral kepada DepHan telah banyak dijual tanpa penilaian yang objektif. Penjualan dilakukan oleh beberapa team yang menyelesaikan kasus ASABRI, yang juga tidak diselesaikan dengan tuntas. Untuk memberantas korupsi dilingkungan manapun KPK jangan gentar. Disini sudah terlihat ada gejala korupsi. Mantan DIRUT ASABRI selama proses kasus Asabri berjalan, tetap selalu monitor dan membantu apabila team atau pejabat terkait memanggil. Pada tahun 2006 pejabat Ketua YKPP Tumiyo sebagai pahlawan kesiangan ingin membongkar kasus ASABRI dimana mantan DIRUT ASABRI di dalam imajinasinya sudah dapat duit banyak tetapi belum mengembalikan duit prajurit. Dia terbius oleh kata-kata IYUL SULINAH yang mengaku isteri Henry Leo. Dibuatlah skenario para pejabat PUSPOMAD yang kebetulan punya saudara di JAMPIDSUS. Kasus ini dijadikan sarana untuk prestasi naik pangkat dan jabatan di lingkungan masing-masing. Rekayasa untuk menjaring seorang Jenderal Korupsi cukup sulit. Perlu banyak barang bukti yang harus dihadirkan. Terlihat adanya barang bukti yang ditulis dalam daftar barang bukti mulai dari PUSPOMAD sampai dengan dengan Pengadilan Tinggi DKI. Sebagian besar barang bukti tersebut berasal dari Henry Leo yang tidak pernah di periksa kebenarannya. Apalagi hampir seluruhnya fotocopy yang tidak disetujui Jaksa Penuntut Umum diperiksa oleh yang berkompeten. Yang sangat menyolok sebagai contoh adalah nomor barang bukti no.485 s/d no.505 semuanya salah. Yang benar adalah nomor barang bukti 642 yang dihindari dibuka ( lihat daftar barang bukti pada Putusan Pengadilan Tinggi ). Dengan demikian barang bukti ini akan mengacaukan atau menyesatkan mulai penyelidikan, penyidikan, dakwaan hingga vonis di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Apabila fotocopy-fotocopy barang bukti itu diteliti dan diperiksa dengan teliti, pasti akan terperanjat sendiri. Namun karena perkara ini sudah di "mapping" menurut istilah para pengacara, apalagi dikawal oleh "baju idjo" yang dipimpin Erling dari PUSPOM, maka akhirnya succes ada Jenderal masuk bui. Tidak pernah ada sebelumnya baik Jaksa Agung lama maupun pejabat TNI lama yang berani jebloskan Jenderal masuk bui. Sekarang semuanya sedang menikmati kesuksesan mereka dengan jabatan dan pangkat baru, bahkan dengan rejeki yang lebih banyak. Kesan publik sekarang, ternyata Jenderal yang ngomongnya membela prajurit dan banyak jasanya itu hanya koruptor yang merugikan Negara ratusan miliar. Sedangkan Henry Leo dan orang-orang BNI yang terlibat tepuk tangan dengan seru. Dipihak lain para pejabat DepHan yang sudah menerima suapa atau terlibat dalam kasus Asabri sedang berdebar-debar menunggu panggilan KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar