Henry Leo (HL) merencanakan
pembobolan dana BNI dengan melalui deposito BPKPR/ASABRI dilakukan dengan
teliti dan memakan waktu yang cukup panjang. Perkenalan dengan DIRUT ASABRI, HL
mengaku sebagai pengusaha yang banyak relasi serta menyarankan untuk depositi
di BNI karena relasi dia bias memberikan bunga yang lebih tinggi dari bunga di
Bank Pemerintah lainnya. HL tahu bahwa ASABRI tidak ada deposito di BNI.
Sebelumnya HL juga telah mengetahui bahwa sebagian besar deposito ASABRI harus
di Bank Pemerintah. Karena sejalan dengan tugas DIRUT ASABRI makan disetujui
deposito di BNI dengan prosedur biasa diawali proses pelaksanaan dari KabagKu
BPKPR. Sebelumnya HL menawarkan tanah untuk dibeli didaerah Cimanggis-Bogor, dan
dengan sukarela dia mengurus surat-surat
jual beli dengan Notaris Hari Suprapti. Rupanya itu hanya upaya untuk
mendapatkan tanda tangan dan fotocopy KTP Subarda, agar bisa digunakan pada Akte
Pendirian PT.WMA yang tidak diketahui SUBARDA.
Deposito mulai masuk ke BNI dengan keterangan didalam NPD (Nota Pemindahan
Dana) berupa pembelian Certificate Deposit (CD) berjangka yang menurut KabagKu sama
saja dengan deposito, hanya akan dapat bunga bank yang lebih tinggi. Cara ini
lancar dimana bunga bank masuk lebih besar. Setelah satu tahun berjalan untuk
keamanan dalam NPD oleh DIRUT ASABRI dirubah dari pembelian CD berjangka
menjadi deposito berjangka (Time Deposit/TD) seperti deposito bank lain,bunga
bank tetap lancar. Bagaimana bisa dana
BNI jatuh ketangan HL? Upaya HL untuk mengalikan dana BNI ketangan dia yaitu
dengan membawa NPD dan Giro Bilyet dari KabagKu Sunarjo dengan alasan akan diserahkan ke relasinya di BNI.
Seharusnya dalam aturan yang ada NPD dan Giro Bilyet itu dibawa oleh personel
BNI sendiri. Walaupun dibawa HL, sebenarnya Giro Bilyet tersebut
tetap aman karena alamatnya ditujukan ke BNI serta NPD-nya jelas dari Lippo ke
BNI. Giro ini tidak bisa cair kecuali BNI sendiri yang mencairkan. HL ke BNI
membawa Giro Bilyet serta surat persetujuan DIRUT ASABRI (palsu) untuk mengajukan
kredit ke BNI dengan agunan deposito BPKPR/ASABRI. HL juga membawa persyaratan
pembukaan rekening PT.WMA untuk mengalirkan bunga bnk deposito BPKPR/ASABRI ke
rekening tersebut. Orang BNI cabang Jakarta Kota langsung memberikan kredit HL
berpuluh-puluh miliar. Bunga deposito lancar karena setelah sampai ke rekening
PT.WMA diinstruksikan oleh HL membayar bunga DAPEN ASABRI atau BPKPR/ASABRI.
Deposito tetap bertambah karena sangant menguntungkan BPKPR/ASABRI. Laporan
KabagKu tiap bulan lancar untuk disampaikan ke MENHANKAM, IRJEN HANKAM dan BPKP
setiap tahun memeriksa dan tidak ada temuan apapun serta sehat sekali. Itulah
sebabnya selama 3 tahun DIRUT ASABRI tidak tahu deposito itu diagunkan.
Sepak terjang HL di BNI sama
sekali tidak diketahui DIRUT ASABRI. Lancarnya HL melakukan penipuan dan
penggelapan didukung oleh orang-orang BNI serta manis mulut HL disertai dengan
suap. Dimulai dengan pembuatan Akte PT.WMA, didalam persidangan terlihat ada
transfer pembayaran pada Notaris Hari Suprapti sebesar Rp.11 miliar. Tentunya
akte ini sangat sakti.
Kemudian dalam persidangan
juga diketahui ada hal yang fatal, yaitu pengakuan dari pejabat BNI yang tidak
pernah melakukan konfirmasi kepada siapapun di ASABRI/BPKPR. Uang sejumlah
ratusan miliar tanpa konfirmasi? Alasannya hanya sekadar dilarang oleh HL.
Beberapa fotocopy surat yang
dituduh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Subarda bahwa telah bekerja sama dengan
HL,tidak disetujui oleh Jaksa Penuntut Umum untuk diperiksa Laboratorium Forensik
(LABFOR) POLRI dengan alasan irasional yaitu nantinya kalau begitu semua
tersangka akan minta diperiksa di LABFOR katanya.
Pembukaan rekening PT.WMA di BNI
dengan berkas yang banyak cacatnya, diantaranya:
- Akte tersebut sama sekali tidak diketahui Subarda.
- Pengisian formulir bank atas nama DIRUT ASABRI tetapi tanpa stempel ASABRI.
- Alamat PT.WMA tidak sesuai dengan Domisili PT.WMA tetapi di Jl.Tiang Bendera (rumah tinggal Henry Leo)
- Pembukaan rekening PT.WMA dilakukan sebelum SIUP dan TDP terbit, apalagi ijin Menteri Kehakiman baru diajukan lima bulan sejak dibuatkan akte tersebut.
Rupanya HL merasa berat membayar
bunga deposito yang seharusnya dibayar BNI ke BPKPR/ASABRI. Akhirnya pembayaran
bunga deposito dari BNI macet, rupanya terbukti dalam persidangan seluruh bunga
deposito itu dibayarkan oleh HL walaupun transfernya lewat BNI. Setelah macet
dan menunggak, KabagKu menanyakan ke BNI ternyata malah dia disuruh Tanya ke
HL. HL baru laporan ke DIRUT ASABRI bahwa dana ASABRI/BPKPR digunakan dia untuk
investasi diluar dan didalam negeri. Disini DIRUT ASABRI baru tahu dan
terpukul, langsung minta pertanggungjawaban HL. HL menyerahkan beberapa
kepemilikan saham di beberapa perusahaan dalam negeri yang kurang berharga.
Didalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur baru diketahui bahwa
kredit HL ke BNI macet dan BNI men-default deposito BPKPR/ASABRI. Pada
waktu itu DIRUT ASABRI tidak pernah tahu atau dikonfirmasi dari BNI. Sedangkan
HL sendiri rupanya menyembunyikan hal ini dengan segala cara. DIRUT ASABRI
tidak pernah membuat NPD pencairan deposito satu sen pun. Bagaimana BNI bisa mencairkan
deposito padahal bunga bank BNI masih diterima sampai bulan November 1997. Tanpa
perjanjian dan komitmen apapun dengan BPKPR/ASABRI, BNI telah dengan mudah
mencairkan deposito DAPEN ASABRI. Di sini BNI telah melanggar hokum perbankan
dan berarti deposito BPKPR/ASABRI seluruhnya sebesar Rp. 400 miliar masih utuh
di BNI, bahkan bunga deposito selama ±
11 tahun harus dibayar. Sewaktu DIRUT ASABRI bersama KabagKu meneliti dana yang
dikatakan dipakai HL, rupanya HL cepat-cepat lapor ke MENHANKAM bahwa
dana itu dipakai HL dengan persetujuan Subarda. MENHANKAM tanpa
mengusut dulu deposito BPKPR/ASABRI di BNI memutuskan untuk memberhentikan
Subarda sebagai DIRUT ASABRI dan Pelaksana Harian BPKPR. Dengan demikian
Subarda tidak bisa lagi melaporkan penipuan HL kepada pihak yang berwajib,
apalagi MENHANKAM memerintahkan agar Subarda jangan bicara kemanapun.
Peristiwa sepak terjang HL mulai
tahun 1995 sampai dengan 1997 dengan kebijaksanaan MENHANKAM ini terkubur
sampai sekarang. Kebijaksanaan MENHANKAM itu menurut Subarda melanggar hukum karena
pembobolan dan penipuan tidak boleh langsung dianggap sebagai penyertaan
terhadap perusahaan HL. Katanya mereka membuat AKTA No.16 diganti AKTA No. 30
tanpa mengikutsertakan Subarda. Juga dengan melibatkan BNI membuat cara
pembayaran dengan SBLC pada tahun 1998 dan tahun 1999. Katanya sudah cair Rp. 150
miliar. Namun sepengetahuan Subarda sampai sekarang dana Rp. 410 miliar itu
belum kembali (apabila dianggap pengembalian ke BPKPR/ASABRI). Apabila kembali
diusut mulai tahun 1995 makan yang dibobol adalah dana BNI dimana kebobolan
tersebut dikarenakan kerjasama HL dengan orang-orang BNI.
Kebijaksanaan MENHANKAM dalam merubah penipuan/pembobolan oleh HL menjadi
penyertaan di perusahaan HL adalah melanggar hokum. Ide dan saran siapa
kebijaksanaan MENHANKAM tersebut? Hanya Almarhum Jendral TNI (Purn) Edy
Sudrajat mungkin yang mengetahuinya.
menarik untuk disimak artikel nya kak" terima kasih
BalasHapus