Rabu, 22 Februari 2012

KENYATAAN YANG TERJADI DALAM KASUS ASABRI


Henry Leo (HL) merencanakan pembobolan dana BNI dengan melalui deposito BPKPR/ASABRI dilakukan dengan teliti dan memakan waktu yang cukup panjang. Perkenalan dengan DIRUT ASABRI, HL mengaku sebagai pengusaha yang banyak relasi serta menyarankan untuk depositi di BNI karena relasi dia bias memberikan bunga yang lebih tinggi dari bunga di Bank Pemerintah lainnya. HL tahu bahwa ASABRI tidak ada deposito di BNI. Sebelumnya HL juga telah mengetahui bahwa sebagian besar deposito ASABRI harus di Bank Pemerintah. Karena sejalan dengan tugas DIRUT ASABRI makan disetujui deposito di BNI dengan prosedur biasa diawali proses pelaksanaan dari KabagKu BPKPR. Sebelumnya HL menawarkan tanah untuk dibeli didaerah Cimanggis-Bogor, dan dengan sukarela dia mengurus  surat-surat jual beli dengan Notaris Hari Suprapti. Rupanya itu hanya upaya untuk mendapatkan tanda tangan dan fotocopy KTP Subarda, agar bisa digunakan pada Akte Pendirian PT.WMA yang tidak diketahui  SUBARDA. Deposito mulai masuk ke BNI dengan keterangan didalam NPD (Nota Pemindahan Dana) berupa pembelian Certificate Deposit (CD) berjangka yang menurut KabagKu sama saja dengan deposito, hanya akan dapat bunga bank yang lebih tinggi. Cara ini lancar dimana bunga bank masuk lebih besar. Setelah satu tahun berjalan untuk keamanan dalam NPD oleh DIRUT ASABRI dirubah dari pembelian CD berjangka menjadi deposito berjangka (Time Deposit/TD) seperti deposito bank lain,bunga bank tetap lancar.  Bagaimana bisa dana BNI jatuh ketangan HL? Upaya HL untuk mengalikan dana BNI ketangan dia yaitu dengan membawa NPD dan Giro Bilyet dari KabagKu Sunarjo dengan  alasan akan diserahkan ke relasinya di BNI. Seharusnya dalam aturan yang ada NPD dan Giro Bilyet itu dibawa oleh personel BNI sendiri. Walaupun dibawa HL, sebenarnya Giro Bilyet tersebut tetap aman karena alamatnya ditujukan ke BNI serta NPD-nya jelas dari Lippo ke BNI. Giro ini tidak bisa cair kecuali BNI sendiri yang mencairkan. HL ke BNI membawa Giro Bilyet serta surat persetujuan DIRUT ASABRI (palsu) untuk mengajukan kredit ke BNI dengan agunan deposito BPKPR/ASABRI. HL juga membawa persyaratan pembukaan rekening PT.WMA untuk mengalirkan bunga bnk deposito BPKPR/ASABRI ke rekening tersebut. Orang BNI cabang Jakarta Kota langsung memberikan kredit HL berpuluh-puluh miliar. Bunga deposito lancar karena setelah sampai ke rekening PT.WMA diinstruksikan oleh HL membayar bunga DAPEN ASABRI atau BPKPR/ASABRI. Deposito tetap bertambah karena sangant menguntungkan BPKPR/ASABRI. Laporan KabagKu tiap bulan lancar untuk disampaikan ke MENHANKAM, IRJEN HANKAM dan BPKP setiap tahun memeriksa dan tidak ada temuan apapun serta sehat sekali. Itulah sebabnya selama 3 tahun DIRUT ASABRI tidak tahu deposito itu diagunkan.

Sepak terjang HL di BNI sama sekali tidak diketahui DIRUT ASABRI. Lancarnya HL melakukan penipuan dan penggelapan didukung oleh orang-orang BNI serta manis mulut HL disertai dengan suap. Dimulai dengan pembuatan Akte PT.WMA, didalam persidangan terlihat ada transfer pembayaran pada Notaris Hari Suprapti sebesar Rp.11 miliar. Tentunya akte ini sangat sakti.
Kemudian dalam persidangan juga diketahui ada hal yang fatal, yaitu pengakuan dari pejabat BNI yang tidak pernah melakukan konfirmasi kepada siapapun di ASABRI/BPKPR. Uang sejumlah ratusan miliar tanpa konfirmasi? Alasannya hanya sekadar dilarang oleh HL.
Beberapa fotocopy surat yang dituduh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Subarda bahwa telah bekerja sama dengan HL,tidak disetujui oleh Jaksa Penuntut Umum untuk diperiksa Laboratorium Forensik (LABFOR) POLRI dengan alasan irasional yaitu nantinya kalau begitu semua tersangka akan minta diperiksa di LABFOR katanya.

Pembukaan rekening PT.WMA di BNI dengan berkas yang banyak cacatnya, diantaranya:
  •  Akte tersebut sama sekali tidak diketahui Subarda.
  •  Pengisian formulir bank atas nama DIRUT ASABRI tetapi tanpa stempel ASABRI.
  • Alamat PT.WMA tidak sesuai dengan Domisili PT.WMA tetapi di Jl.Tiang Bendera (rumah tinggal   Henry Leo)
  • Pembukaan rekening PT.WMA dilakukan sebelum SIUP dan TDP terbit, apalagi ijin Menteri Kehakiman baru diajukan lima bulan sejak dibuatkan akte tersebut.
Beberapa fotocopy surat yang dituduh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Subarda bahwa telah bekerja   sama dengan HL, tidak disetujui oleh Jaksa Penuntut Umum untuk diperiksa Laboratorium Forensik (LABFOR) POLRI dengan alasan irasional yaitu nantinya kalau begitu semua tersangka akan minta diperiksa di LABFOR katanya.Komunikasi diluar deposito di BNI antara HL dengan DIRUT ASABRI selama tahun 1995 sampai dengan 1997 baik-baik saja tanpa mencurigakan dalam perangainya HL. Bahkan HL membantu bisnis ASABRI untuk keuntungan bersama. Bisnis pertama pembelian tanah di Medan dekat lapangan terbang Polonia adalah agunan suatu perusahaan di Bank Yudha Bhakti yang tidak bisa dibayar tapi nilainya tinggi, dibeli HL seharga Rp. 11 miliar lewat rekening Subarda dan dilanjutkan ke Bank Yudha Bhakti. Diharapkan nantinya dapat dijual dengan harga dua kali lipat. Sertifikat aset tersebut dititipkan HL di BPKPR. Bisnis kedua pembelian tanah untuk perumahan seluas 7,8 Ha ditempat strategis di pinggir tol. Karena tidak cukup apabila dibagikan kepada seluruh anggota, maka harus membeli yang lebih luas dengan secara bertahap transfer dana ke rekening Subarda sebesar Rp. 15 miliar dan dihasilkan tanah seluas 17,5 Ha dan sudah dibagikan kepada seluruh anggota. Sertifikat tanah yang 7,8 Ha juga masih ada di BPKPR. Bisnis ketiga HL diminta untuk membantu membayar hutang-hutang para pengusaha yang wanprestasi di Bank Exim dalam pinjaman Cash Collateral karena agunan mereka yang ada di ASABRI nilainya jauh lebih besar. Diharapkan memberikan keuntungan bersama antara HL dan ASABRI. Bantuan tersebut dibayarkan Bank Exim sejumlah ± Rp.  19 miliar. Seluruh sertifikat yang wanprestasi dipegang DIRUT ASABRI. Transfer dana untuk ketiga bisnis tersebut, Subarda sama sekali tidak tahu darimana asal usulnya. Seluruh sertifikat dari aset-aset tersebut belum ada yang terjual, setelah ada kejadian bahwa HL telah menggelapkan deposito BPKPR/ASABRI maka seluruhnya diserahkan ke DEPHAN lewat RoPam sebagai jaminan moral ditambah penyerahan aset pribadi yang diperintahkan MENHANKAM.


Rupanya HL merasa berat membayar bunga deposito yang seharusnya dibayar BNI ke BPKPR/ASABRI. Akhirnya pembayaran bunga deposito dari BNI macet, rupanya terbukti dalam persidangan seluruh bunga deposito itu dibayarkan oleh HL walaupun transfernya lewat BNI. Setelah macet dan menunggak, KabagKu menanyakan ke BNI ternyata malah dia disuruh Tanya ke HL. HL baru laporan ke DIRUT ASABRI bahwa dana ASABRI/BPKPR digunakan dia untuk investasi diluar dan didalam negeri. Disini DIRUT ASABRI baru tahu dan terpukul, langsung minta pertanggungjawaban HL. HL menyerahkan beberapa kepemilikan saham di beberapa perusahaan dalam negeri yang kurang berharga. Didalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur baru diketahui bahwa kredit HL ke BNI macet dan BNI men-default deposito BPKPR/ASABRI. Pada waktu itu DIRUT ASABRI tidak pernah tahu atau dikonfirmasi dari BNI. Sedangkan HL sendiri rupanya menyembunyikan hal ini dengan segala cara. DIRUT ASABRI tidak pernah membuat NPD pencairan deposito satu sen pun. Bagaimana BNI bisa mencairkan deposito padahal bunga bank BNI masih diterima sampai bulan November 1997. Tanpa perjanjian dan komitmen apapun dengan BPKPR/ASABRI, BNI telah dengan mudah mencairkan deposito DAPEN ASABRI. Di sini BNI telah melanggar hokum perbankan dan berarti deposito BPKPR/ASABRI seluruhnya sebesar Rp. 400 miliar masih utuh di BNI, bahkan bunga deposito selama  ± 11 tahun harus dibayar. Sewaktu DIRUT ASABRI bersama KabagKu meneliti dana yang dikatakan dipakai HL, rupanya HL cepat-cepat lapor ke MENHANKAM bahwa dana itu dipakai HL dengan persetujuan Subarda. MENHANKAM tanpa mengusut dulu deposito BPKPR/ASABRI di BNI memutuskan untuk memberhentikan Subarda sebagai DIRUT ASABRI dan Pelaksana Harian BPKPR. Dengan demikian Subarda tidak bisa lagi melaporkan penipuan HL kepada pihak yang berwajib, apalagi MENHANKAM memerintahkan agar Subarda jangan bicara kemanapun.

Peristiwa sepak terjang HL mulai tahun 1995 sampai dengan 1997 dengan kebijaksanaan MENHANKAM ini terkubur sampai sekarang. Kebijaksanaan MENHANKAM itu menurut Subarda melanggar hukum karena pembobolan dan penipuan tidak boleh langsung dianggap sebagai penyertaan terhadap perusahaan HL. Katanya mereka membuat AKTA No.16 diganti AKTA No. 30 tanpa mengikutsertakan Subarda. Juga dengan melibatkan BNI membuat cara pembayaran dengan SBLC pada tahun 1998 dan tahun 1999. Katanya sudah cair Rp. 150 miliar. Namun sepengetahuan Subarda sampai sekarang dana Rp. 410 miliar itu belum kembali (apabila dianggap pengembalian ke BPKPR/ASABRI). Apabila kembali diusut mulai tahun 1995 makan yang dibobol adalah dana BNI dimana kebobolan tersebut dikarenakan kerjasama HL dengan orang-orang BNI. Kebijaksanaan MENHANKAM dalam merubah penipuan/pembobolan oleh HL menjadi penyertaan di perusahaan HL adalah melanggar hokum. Ide dan saran siapa kebijaksanaan MENHANKAM tersebut? Hanya Almarhum Jendral TNI (Purn) Edy Sudrajat mungkin yang mengetahuinya.





1 komentar: